Jumat, 09 Januari 2015

Harta Karun Kepulauan Pagai

Harta Karun Kepulauan Pagai
Oleh Syifa Fauziah Ahmad

                Galvani Putri Setiawan, seorang siswi kelas XII SMA yang baru saja genap berusia tujuh belas tahun. Mungkin kata pertama pada namanya cukup familiar. Galvani adalah nama seorang fisikawan terkenal dari Italia. Wajar saja, kedua orangtua Vani – begitu ia biasa dipanggil – adalah pecinta sains, kedua adiknya juga memiliki nama yang cukup familiar di kalangan saintis, Alfa dan Gamma.
                Vani adalah anak yang cukup pintar di kelasnya, setidaknya ia hanya dikenai kewajiban remedial pada pelajaran bahasa asing. Meskipun tidak berkulit putih mulus, Vani tetap terlihat manis dan sangat menarik. Ia cukup populer di sekolahnya, selain karena penampilan dan kepintarannya, Vani adalah gitaris band sekolah yang beraliran rock, ia juga merupakan atlet renang yang selalu membawa nama baik sekolahnya di berbagai kejuaraan.
                Keluarga Vani sangat harmonis, bahkan ia jarang berkelahi dengan adik-adiknya seperti adik-kakak pada umumnya. Orangtuanya berpenghasilan menengah dan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Vani memiliki sahabat-sahabat yang menyenangkan dan solid, juga sangat pengertian dan selalu ada untuknya. Selain itu, seorang kekasih yang sangat ia sayangi melengkapi kebahagiaannya. Ya, Vani memang tidak akan pernah krisis kasih sayang, hidupnya sangat sempurna.
                Berkumpul bersama sahabat-sahabat dan Affan, kekasihnya, di rumah Meriana, memang paling ampuh untuk mengobati segala macam hal berat yang telah dilaluinya di sekolah. Ulangan harian, presentasi, dan pekerjaan rumah yang tak pernah lelah membuntuti para pelajar memang menjadi kewajiban dan memberi sensasi tersendiri bagi yang mengerjakannya.
                Dari rumah Meriana, Vani diantar pulang oleh Affan. Affan memang selalu setia antar-jemput Vani kemanapun, meskipun tidak diminta, ia memang laki-laki yang baik dan bertanggungjawab. Meskipun sudah hampir satu tahun usia hubungan mereka, Affan tidak pernah macam-macam. Jika ingin mengajak Vani pergi, ia pasti meminta izin kepada orangtua Vani. Sayangnya, “geng ibu-ibu rumpi”, julukan yang diberikan Alfa kepada sekumpulan ibu-ibu di lingkungan kompleknya itu memang tidak mau tahu. Mereka tetap saja asik menggunjing Vani dan Affan. Mungkin ada kepuasan tersendiri bagi para ibu itu, seperti mengkonsumsi zat adiktif, memberi kesenangan sementara dan membuat kecanduan.
                Malam itu, malam pertama di liburan semester ganjil, Vani tidak bisa tidur. Berjuta hal melayang-layang di benaknya. “Ah, bosen!” fikirnya, “Hidup aku gini-gini terus, flat. Ga ada tantangan. Semuanya terlalu mudah untuk aku dapat. Aku juga ingin bersusah payah untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Tapi semua sudah terfasilitasi oleh Papa dan Mama”. Ia memandangi seluruh detail kamarnya. Matanya tertuju pada sekumpulan DVD bajakan koleksinya, ada film Journey to The Centre of The Earth, Narnia, Alice in Wonderland, dan masih banyak lagi. Tiba-tiba saja terlintas dibenaknya “Mungkin aku hanya butuh sedikit petualangan!”. Bergegas ia menyiapkan pakaian, alat shalat, makanan, uang, kamera digital, buku catatan kecil, pensil, dan obat-obatan seadanya, penampilannya sudah seperti bagpacker sekarang. Tapi, ia akan kabur dari orangtuanya, sahabat-sahabatnya, Affan, apakah ia yakin? Mereka tentu saja akan panik dan segera mencarinya meskipun ke ujung dunia. “Aku tidak kabur, aku akan meninggalkan pesan untuk mereka semua”. Ia menyiapkan selembar kertas dan pulpen.
Ma, Pa. Jangan dulu panik. Vani cuma mau pergi sebentar. Vani janji akan pulang dalam waktu yang cepat. Vani cuma mau survive. Maaf kalau Vani bikin Mama dan Papa pusing. Vani sayang Mama Papa.
Sekarang pukul 23.00, Affan dan Meriana pasti sudah tidur. Vani mengeluarkan handphone dan mengirimkan pesan singkat untuk Affan.
Jangan kaget kalau pas kamu bangun nomor aku udah ga aktif. Aku pergi buat cari pengalaman dan pelajaran yang ga bisa aku dapat di sekolah. I need some adventures, dear. And I’ll be fine, trust me. I love you.
Dilanjutkan pesan singkat untuk Meriana.
Mer, maaf aku ga bisa kumpul sama kalian untuk minggu-minggu ini. Salam buat anak-anak ya. Have fun!
                Vani bergegas mengikat tali sepatunya dan pergi. Ia langsung menuju sebuah counter kartu perdana di dekat rumahnya untuk mengaktifkan nomor handphone baru. Ia bingung menentukan tempat yang akan ia tuju. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke daerah Lampung. Ada rumah Om Sigit disana, seandainya ia kehabisan perbekalan.
Kurang lebih satu jam perjalanan menuju Pelabuhan Merak. Meskipun sudah larut malam, pelabuhan tetap ramai. “Wah, kalau kapal untuk umum baru berangkat besok pagi Neng” kata seorang tukang asongan di pelabuhan. “Kalau itu kapal apa yang siap-siap berangkat?” tanya Vani, “Itu kapal punya perusahaan swasta Neng, mau mengirim barang tambang ke luar pulau”, “Oh begitu, terimakasih yah Pak”. Tanpa berfikir panjang, Vani langsung mengendap-endap naik ke kapal tersebut. “Petualangan dimulai” fikirnya.
 Ia berada di tengah-tengah tumpukan karung yang sepertinya berisi bahan makanan. Kapal mulai berjalan menjauhi dermaga. Dinginnya angin laut dan ayunan kapal yang terombang-ambing oleh ombak membuat Vani terlelap di antara tumpukan karung tersebut. Tapi, ada satu hal yang ia lupakan; tempat tujuan kapal tersebut.
Sinar matahari yang berusaha menembus celah awan di pagi hari membangunkan Vani. Kapal mulai merapat ke daratan. Vani turun tanpa terlihat oleh petugas kapal. Bakauhuni sepertinya berbeda sekarang, lebih sepi. Ia melihat ke jam tangannya, sekarang pukul 10.00. Terasa urine dari dalam ginjalnya memaksa untuk keluar. Tak bisa tertahan lagi, mereka terlalu banyak, terlalu lama ditahan sejak tengah malam tadi. Ia berkeliling untuk mencari toilet. Tapi tulisan di sebuah papan besar cukup membuatnya terkejut di saat darurat seperti ini “SELAMAT DATANG DI DESA MUARA BIRU, KEPULAUAN PAGAI, SUMATERA BARAT”. Vani kaget bukan main. Hampir saja segerombolan urine itu melompat keluar. Untungnya ia sempat menemukan toilet umum.
Sementara itu, di rumahnya, Mama dan Papa sangat panik. Berita hilangnya Vani sudah menyebar ke seluruh penjuru komplek. Geng ibu-ibu rumpi mulai mencapai klimaks tentang bahan gunjingannya yang baru; Vani dibawa kabur oleh Affan. Tapi berita itu gugur seketika saat Affan, Meriana, dan empat orang sahabat Vani yang lain datang ke rumah Vani. “Nomornya tidak aktif, Tante” kata Affan. “Kita telpon polisi aja Om, biar prosesnya lebih cepat” kata Meriana. “Iya Pa, Mama khawatir” ujar Mama Vani sambil terus menangisi kepergian anak perempuannya.
Seorang gadis yang memperhatikan Vani sejak pagi tadi akhirnya menyapa. “Permisi, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Kakak mencari sesuatu” katanya, “Iya, apakah benar ini wilayah Sumatra Barat? Bukan Lampung? Kalau iya, sepertinya nama daerah ini asing, aku tidak pernah melihat di buku paket geografi kelas X SMA, atau mendengarnya di televisi, radio, atau membaca di koran, atau….” sup jamur buatan Mama, nasi, dan susu yang diminumnya tadi malam berkumpul menjadi satu dan menyatukan kekuatan untuk keluar melalui mulut Vani. “Kakak sepertinya mabuk laut. Ayo bersihkan diri dulu, ikutlah ke rumah saya, oh iya, nama saya Siti”.
Vani disambut baik oleh Siti dan keluarganya. Rumahnya sederhana, bangunan semi permanen. Setelah mandi, ia dipersilahkan untuk makan siang bersama keluarga Siti. “Jadi Dek Vani dari Tangerang dan tersesat kesini, dari sini ke Lampung cukup jauh Dek. Harus naik kapal feri selama tiga jam, dilanjutkan perjalanan darat yang bisa sampai dua hari lamanya. Atau naik pesawat kalau ingin cepat” kata Ibu Siti. “Sempurna! Ini petualangan yang aku mau. Jauh dari kemewahan di rumah. Banyak kesempatan aku belajar survive disini. Kalau aku mau pulang, uangku masih cukup untuk tiket pesawat ke Soekarno-Hatta” fikir Vani. “Kakak bisa tinggal disini kalau Kaka mau. Di rumah ini hanya ada saya, Ibu, dan Abu, adik saya. Bapak masih di Padang dan hanya pulang sebulan sekali” kata Siti. “Terima kasih Siti, aku akan bayar biaya penginapan satu hari seratus ribu, bagaimana?”, “Ah, tidak usah Dek Vani, kami senang ada penghuni baru disini, teman baru untuk Siti dan Abu, tidak usah sungkan-sungkan” kata Ibu Siti disertai senyumnya yang menyejukkan hati.
Tiga hari berlalu. Vani sangat suka tinggal di Muara Biru. Tempatnya sangat indah, pasir pantainya putih, air lautnya biru dan sangat bersih. Meskipun hanya pulau kecil, tetapi memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah. Banyak ikan hias, terumbu karang, ikan-ikan besar untuk dikonsumsi, juga kekayaan hutannya. Ah, beruntung sekali masyarakat disini. Kepulauan Pagai hanya satu dari berjuta harta Indonesia. Tempat ini memiliki potensi pariwisata yang sangat besar. Selain itu, Vani juga mengenal Siti telah lebih jauh. Siti seusia dengan Vani, tapi hanya berpendidikan SMP karena tidak ada SMA disini. Walaupun begitu, Siti tidak sungkan untuk membagikan ilmunya. Ia mengajar di SD dan SMP dekat rumahnya. Beberapa kali Vani ikut mengajar. Mereka sangat takjub dengan kemampuan Vani. Vani mengajarkan cara berhitung cepat, membuat alat-alat praktek sains sederhana seperti perambatan bunyi menggunakan kaleng dan benang, pembangkit listrik Sel Volta menggunakan buah-buahan asam, dan lain-lain. Vani juga senang menemani Abu dan teman-temannya bernyanyi di pinggir pantai pada sore hari. Ia mengajarkan cara bermain gitar menggunakan gitar yang dibelikan ayah Abu dari Padang sebulan yang lalu.      
“Pa, sudah hampir seminggu dan Vani belum ditemukan juga. Affan dan teman-teman Vani yang sudah berjuang keras mancarinya sejak awal juga belum mendapatkan hasil apa-apa. Apa yang harus kita lakukan Pa?” ujar Mama Vani sambil menyandarkan kepala di pundak Papa, menumpahkan semua air matanya. “Kita sudah berusaha Ma. Sekarang kita tawakal saja, serahkan semuanya kepada Allah. Perbanyak shalat sunnah dan memohon kepada Allah. Allah pasti menjaga Vani, ia pasti baik-baik saja, yakinlah. Ia anak yang baik dan pintar. Ia bisa menjaga dirinya”.
Suatu siang, sepulang mengajar, Vani dan Siti dibuntuti oleh dua orang pria. Tapi Vani dan Siti sangat lelah sehingga tidak menyadari hal tersebut. Seketika mereka ditangkap dan dibius. Ketika sadar, mereka berada di dalam mobil yang melaju cepat melewati hutan. “Mereka cantik dan muda, pasti punya harga jual yang tinggi” kata salah seorang dari pria itu. “Apa?! Apa-apaan ini? Apa maksud kalian?” teriak Vani. “Eh, yang cantik sudah bangun. Jangan banyak cakap lah Dek. Kalian akan senang nantinya”, “Turunkan kami disini! Ini penculikan!” kata  SIti. “Berisik kali kalian ini!” kata seorang pria dan langsung membungkam mulut kedua gadis itu dengan obat bius.
Ketika sadar, mereka sudah berada di atas kapal feri yang cukup besar. Mereka tidak hanya berdua, tapi ada belasan gadis disana. Mereka semua ada di bagian bawah kapal. Kepulauan Pagai bukan hanya memiliki kekayaan alam yang berlimpah, tetapi juga gadis-gadisnya yang cantik dan menarik.
“Apa ini? Kalian siapa? Kemana kapal ini pergi?” kata Vani panik.
“Kami juga korban seperti kalian. Ternyata berita ini benar, berita yang sudah ramai diperbincangkan sejak dua minggu yang lalu, penculikan dan perdagangan gadis ke luar negri” jawab seorang gadis,
“Apa?! Perdagangan gadis?! Tidak mungkin. Apa yang harus kita lakukan?” kata Siti.
 “Kita harus pergi dari sini!” kata Vani.
“Tidak mungkin. Kita berada di atas lautan, kita tidak mungkin kabur” jawab salah seorang gadis.
“Kita bisa berenang” kata Vani.
“Saya tidak bisa berenang. Lagipula bagaimana cara kita keluar?” kata Siti.
“Di kapal feri seperti ini pasti ada pelampung keselamatan, tapi di atas sana. Apakah pintu ke atas dikunci?” kata Vani.
“Tidak” jawab seorang gadis yang duduk dekat pintu.
“Bagus. Kalau begitu aku akan naik untuk melihat situasi dan pelampung. Apakah disini ada yang ahli bela diri?” kata Vani. Tidak ada satupun yang menjawab selama beberapa detik.
“Saya. Hey ayolah kawan. Kita sedang dalam bahaya, ini perjuangan untuk bertahan hidup. Apakah kalian mau dijual ke luar negri? Meskipun saya tidak pernah ikut latihan bela diri, tapi dalam situasi darurat seperti ini kita harus kuat!” kata Siti. Perkataan tersebut ternyata mampu membangunkan semangat para gadis di kapal tersebut. Perlahan-lahan Vani membuka pintu. Ia mengintip keluar.
“Hanya tiga orang. Kita semua harus keluar dan menghadapinya. Dengan begitu kita tidak usah berenang untuk mencapai daratan” kata Vani.
Akhirnya mereka semua keluar dan mengeluarkan segenap tenaganya untuk melawan para pria itu. Salah seorang dari pria itu mengeluarkan senjata dan menarik pelatuknya. Namun ia terlambat karena seorang gadis buru-buru menendang perut pria tersebut. Pelurunya keluar namun tidak mengenai seorangpun, melainkan menembus bagian bawah kapal. Bukan hanya satu, tapi empat peluru bertubi-tubi. Hal tersebut membuat kapal berlubang dan air masuk ke dasar kapal. Para pria tersebut sempoyongan dan akhirnya terbaring di atas kapal. Mereka tidak sanggup menahan serangan dari belasan gadis tersebut.
“Teman-teman, daratan sudah dekat, hanya sekitar lima puluh meter dari sini. Tapi kapal ini tidak akan bertahan lama. Kita harus berenang. Gunakan pelampung. Jumlahnya terbatas, setidaknya gunakan satu pelampung untuk dua orang” kata Vani.
“Pelampung hanya ada enam, dan kita berjumlah tiga belas” kata Siti.
“Jangan khawatir. Aku bisa berenang. Sekarang, lemparkan pelampungnya ke laut, dan lompatlah, kemudian ikuti intruksiku, jangan takut” kata Vani. Vani yang merupakan atlet renang akhirnya harus menghadapi medan yang sesungguhnya. Mereka semua melompat ke laut. Dengan mengikuti intruksi dari Vani, mereka akhirnya sampai di daratan dan terbaring kelelahan.
Di pagi hari, warga setempat menemukan mereka semua dan langsung melaporkannya ke kantor polisi. Vani kemudian menelepon orangtuanya di Tangerang. Mengetahui berita tersebut, kedua orangtuanya langsung menjemput, mereka mengantarkan Siti ke Muara Biru dan mengambil barang-barang Vani yang tertinggal disana, tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Siti, kemudian pulang ke Tangerang.
“Sayang, jangan diulangi lagi yang seperti ini. Kalau kamu tidak tertolong, mungkin kamu sudah menjadi TKW di luar negri sekarang” kata Papa. “Iya, untung kamu bisa berenang Van, kamu sih ada-ada aja pake kabur segala. Kita semua khawatir disini” kata Meriana. “Iya, seminggu nyariin anak dewasa kayak kamu bukan hal mudah loh” kata Affan. “Iya-iya, maafin aku, aku menyesal bikin kalian semua khawatir, aku janji tidak akan mengulanginya lagi”. Kata Vani penuh penyesalan.

Sekarang, Vani lebih menikmati hidupnya. Ia bersyukur memiliki Mama, Papa, Alfa, Gamma, Affan, Meriana, dan empat sahabatnya yang lain, yang sangat ia sayangi dan juga menyayanginya. Vani juga sering mengirim surat untuk Siti dan keluarganya karena tidak ada satu providerpun yang memasang tower di dekat rumah Siti.