Harta Karun Kepulauan Pagai
Oleh Syifa Fauziah Ahmad
Galvani Putri
Setiawan, seorang siswi kelas XII SMA yang baru saja genap berusia tujuh belas
tahun. Mungkin kata pertama pada namanya cukup familiar. Galvani adalah nama
seorang fisikawan terkenal dari Italia. Wajar saja, kedua orangtua Vani –
begitu ia biasa dipanggil – adalah pecinta sains, kedua adiknya juga memiliki
nama yang cukup familiar di kalangan saintis, Alfa dan Gamma.
Vani adalah anak
yang cukup pintar di kelasnya, setidaknya ia hanya dikenai kewajiban remedial
pada pelajaran bahasa asing. Meskipun tidak berkulit putih mulus, Vani tetap
terlihat manis dan sangat menarik. Ia cukup populer di sekolahnya, selain
karena penampilan dan kepintarannya, Vani adalah gitaris band sekolah yang
beraliran rock, ia juga merupakan
atlet renang yang selalu membawa nama baik sekolahnya di berbagai kejuaraan.
Keluarga Vani
sangat harmonis, bahkan ia jarang berkelahi dengan adik-adiknya seperti
adik-kakak pada umumnya. Orangtuanya berpenghasilan menengah dan pintar membagi
waktu antara pekerjaan dan keluarga. Vani memiliki sahabat-sahabat yang
menyenangkan dan solid, juga sangat pengertian dan selalu ada untuknya. Selain
itu, seorang kekasih yang sangat ia sayangi melengkapi kebahagiaannya. Ya, Vani
memang tidak akan pernah krisis kasih sayang, hidupnya sangat sempurna.
Berkumpul bersama
sahabat-sahabat dan Affan, kekasihnya, di rumah Meriana, memang paling ampuh
untuk mengobati segala macam hal berat yang telah dilaluinya di sekolah.
Ulangan harian, presentasi, dan pekerjaan rumah yang tak pernah lelah
membuntuti para pelajar memang menjadi kewajiban dan memberi sensasi tersendiri
bagi yang mengerjakannya.
Dari rumah
Meriana, Vani diantar pulang oleh Affan. Affan memang selalu setia antar-jemput
Vani kemanapun, meskipun tidak diminta, ia memang laki-laki yang baik dan
bertanggungjawab. Meskipun sudah hampir satu tahun usia hubungan mereka, Affan
tidak pernah macam-macam. Jika ingin mengajak Vani pergi, ia pasti meminta izin
kepada orangtua Vani. Sayangnya, “geng ibu-ibu rumpi”, julukan yang diberikan
Alfa kepada sekumpulan ibu-ibu di lingkungan kompleknya itu memang tidak mau
tahu. Mereka tetap saja asik menggunjing Vani dan Affan. Mungkin ada kepuasan
tersendiri bagi para ibu itu, seperti mengkonsumsi zat adiktif, memberi
kesenangan sementara dan membuat kecanduan.
Malam itu, malam
pertama di liburan semester ganjil, Vani tidak bisa tidur. Berjuta hal
melayang-layang di benaknya. “Ah, bosen!” fikirnya, “Hidup aku gini-gini terus,
flat. Ga ada tantangan. Semuanya
terlalu mudah untuk aku dapat. Aku juga ingin bersusah payah untuk mendapatkan
apa yang aku inginkan. Tapi semua sudah terfasilitasi oleh Papa dan Mama”. Ia
memandangi seluruh detail kamarnya. Matanya tertuju pada sekumpulan DVD bajakan
koleksinya, ada film Journey to The
Centre of The Earth, Narnia, Alice in Wonderland, dan masih banyak lagi.
Tiba-tiba saja terlintas dibenaknya “Mungkin aku hanya butuh sedikit
petualangan!”. Bergegas ia menyiapkan pakaian, alat shalat, makanan, uang,
kamera digital, buku catatan kecil, pensil, dan obat-obatan seadanya,
penampilannya sudah seperti bagpacker
sekarang. Tapi, ia akan kabur dari orangtuanya, sahabat-sahabatnya, Affan,
apakah ia yakin? Mereka tentu saja akan panik dan segera mencarinya meskipun ke
ujung dunia. “Aku tidak kabur, aku akan meninggalkan pesan untuk mereka semua”.
Ia menyiapkan selembar kertas dan pulpen.
Ma, Pa. Jangan dulu panik. Vani cuma mau
pergi sebentar. Vani janji akan pulang dalam waktu yang cepat. Vani cuma mau
survive. Maaf kalau Vani bikin Mama dan Papa pusing. Vani sayang Mama Papa.
Sekarang pukul 23.00, Affan dan Meriana pasti sudah tidur. Vani
mengeluarkan handphone dan
mengirimkan pesan singkat untuk Affan.
Jangan kaget kalau pas kamu bangun nomor aku
udah ga aktif. Aku pergi buat cari pengalaman dan pelajaran yang ga bisa aku dapat
di sekolah. I need some adventures, dear. And I’ll be fine, trust me. I love
you.
Dilanjutkan pesan singkat untuk Meriana.
Mer, maaf aku ga bisa kumpul sama kalian
untuk minggu-minggu ini. Salam buat anak-anak ya. Have fun!
Vani bergegas
mengikat tali sepatunya dan pergi. Ia langsung menuju sebuah counter kartu perdana di dekat rumahnya
untuk mengaktifkan nomor handphone
baru. Ia bingung menentukan tempat yang akan ia tuju. Akhirnya ia memutuskan
untuk pergi ke daerah Lampung. Ada rumah Om Sigit disana, seandainya ia
kehabisan perbekalan.
Kurang lebih satu jam perjalanan menuju Pelabuhan
Merak. Meskipun sudah larut malam, pelabuhan tetap ramai. “Wah, kalau kapal
untuk umum baru berangkat besok pagi Neng” kata seorang tukang asongan di
pelabuhan. “Kalau itu kapal apa yang siap-siap berangkat?” tanya Vani, “Itu
kapal punya perusahaan swasta Neng, mau mengirim barang tambang ke luar pulau”,
“Oh begitu, terimakasih yah Pak”. Tanpa berfikir panjang, Vani langsung
mengendap-endap naik ke kapal tersebut. “Petualangan dimulai” fikirnya.
Ia berada di
tengah-tengah tumpukan karung yang sepertinya berisi bahan makanan. Kapal mulai
berjalan menjauhi dermaga. Dinginnya angin laut dan ayunan kapal yang
terombang-ambing oleh ombak membuat Vani terlelap di antara tumpukan karung
tersebut. Tapi, ada satu hal yang ia lupakan; tempat tujuan kapal tersebut.
Sinar matahari yang berusaha menembus celah awan di
pagi hari membangunkan Vani. Kapal mulai merapat ke daratan. Vani turun tanpa
terlihat oleh petugas kapal. Bakauhuni sepertinya berbeda sekarang, lebih sepi.
Ia melihat ke jam tangannya, sekarang pukul 10.00. Terasa urine dari dalam ginjalnya memaksa untuk keluar. Tak bisa tertahan
lagi, mereka terlalu banyak, terlalu lama ditahan sejak tengah malam tadi. Ia
berkeliling untuk mencari toilet. Tapi tulisan di sebuah papan besar cukup
membuatnya terkejut di saat darurat seperti ini “SELAMAT DATANG DI DESA MUARA
BIRU, KEPULAUAN PAGAI, SUMATERA BARAT”. Vani kaget bukan main. Hampir saja
segerombolan urine itu melompat
keluar. Untungnya ia sempat menemukan toilet umum.
Sementara itu, di rumahnya, Mama dan Papa sangat panik.
Berita hilangnya Vani sudah menyebar ke seluruh penjuru komplek. Geng ibu-ibu
rumpi mulai mencapai klimaks tentang bahan gunjingannya yang baru; Vani dibawa
kabur oleh Affan. Tapi berita itu gugur seketika saat Affan, Meriana, dan empat
orang sahabat Vani yang lain datang ke rumah Vani. “Nomornya tidak aktif,
Tante” kata Affan. “Kita telpon polisi aja Om, biar prosesnya lebih cepat” kata
Meriana. “Iya Pa, Mama khawatir” ujar Mama Vani sambil terus menangisi
kepergian anak perempuannya.
Seorang gadis yang memperhatikan Vani sejak pagi
tadi akhirnya menyapa. “Permisi, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Kakak
mencari sesuatu” katanya, “Iya, apakah benar ini wilayah Sumatra Barat? Bukan
Lampung? Kalau iya, sepertinya nama daerah ini asing, aku tidak pernah melihat
di buku paket geografi kelas X SMA, atau mendengarnya di televisi, radio, atau
membaca di koran, atau….” sup jamur buatan Mama, nasi, dan susu yang diminumnya
tadi malam berkumpul menjadi satu dan menyatukan kekuatan untuk keluar melalui
mulut Vani. “Kakak sepertinya mabuk laut. Ayo bersihkan diri dulu, ikutlah ke
rumah saya, oh iya, nama saya Siti”.
Vani disambut baik oleh Siti dan keluarganya.
Rumahnya sederhana, bangunan semi permanen. Setelah mandi, ia dipersilahkan
untuk makan siang bersama keluarga Siti. “Jadi Dek Vani dari Tangerang dan
tersesat kesini, dari sini ke Lampung cukup jauh Dek. Harus naik kapal feri
selama tiga jam, dilanjutkan perjalanan darat yang bisa sampai dua hari
lamanya. Atau naik pesawat kalau ingin cepat” kata Ibu Siti. “Sempurna! Ini
petualangan yang aku mau. Jauh dari kemewahan di rumah. Banyak kesempatan aku
belajar survive disini. Kalau aku mau
pulang, uangku masih cukup untuk tiket pesawat ke Soekarno-Hatta” fikir Vani.
“Kakak bisa tinggal disini kalau Kaka mau. Di rumah ini hanya ada saya, Ibu,
dan Abu, adik saya. Bapak masih di Padang dan hanya pulang sebulan sekali” kata
Siti. “Terima kasih Siti, aku akan bayar biaya penginapan satu hari seratus
ribu, bagaimana?”, “Ah, tidak usah Dek Vani, kami senang ada penghuni baru
disini, teman baru untuk Siti dan Abu, tidak usah sungkan-sungkan” kata Ibu
Siti disertai senyumnya yang menyejukkan hati.
Tiga hari berlalu. Vani sangat suka tinggal di
Muara Biru. Tempatnya sangat indah, pasir pantainya putih, air lautnya biru dan
sangat bersih. Meskipun hanya pulau kecil, tetapi memiliki kekayaan alam yang
sangat berlimpah. Banyak ikan hias, terumbu karang, ikan-ikan besar untuk
dikonsumsi, juga kekayaan hutannya. Ah, beruntung sekali masyarakat disini.
Kepulauan Pagai hanya satu dari berjuta harta Indonesia. Tempat ini memiliki
potensi pariwisata yang sangat besar. Selain itu, Vani juga mengenal Siti telah
lebih jauh. Siti seusia dengan Vani, tapi hanya berpendidikan SMP karena tidak
ada SMA disini. Walaupun begitu, Siti tidak sungkan untuk membagikan ilmunya.
Ia mengajar di SD dan SMP dekat rumahnya. Beberapa kali Vani ikut mengajar.
Mereka sangat takjub dengan kemampuan Vani. Vani mengajarkan cara berhitung
cepat, membuat alat-alat praktek sains sederhana seperti perambatan bunyi
menggunakan kaleng dan benang, pembangkit listrik Sel Volta menggunakan
buah-buahan asam, dan lain-lain. Vani juga senang menemani Abu dan
teman-temannya bernyanyi di pinggir pantai pada sore hari. Ia mengajarkan cara
bermain gitar menggunakan gitar yang dibelikan ayah Abu dari Padang sebulan
yang lalu.
“Pa, sudah hampir seminggu dan Vani belum ditemukan
juga. Affan dan teman-teman Vani yang sudah berjuang keras mancarinya sejak
awal juga belum mendapatkan hasil apa-apa. Apa yang harus kita lakukan Pa?”
ujar Mama Vani sambil menyandarkan kepala di pundak Papa, menumpahkan semua air
matanya. “Kita sudah berusaha Ma. Sekarang kita tawakal saja, serahkan semuanya
kepada Allah. Perbanyak shalat sunnah dan memohon kepada Allah. Allah pasti
menjaga Vani, ia pasti baik-baik saja, yakinlah. Ia anak yang baik dan pintar.
Ia bisa menjaga dirinya”.
Suatu siang, sepulang mengajar, Vani dan Siti
dibuntuti oleh dua orang pria. Tapi Vani dan Siti sangat lelah sehingga tidak
menyadari hal tersebut. Seketika mereka ditangkap dan dibius. Ketika sadar,
mereka berada di dalam mobil yang melaju cepat melewati hutan. “Mereka cantik dan
muda, pasti punya harga jual yang tinggi” kata salah seorang dari pria itu.
“Apa?! Apa-apaan ini? Apa maksud kalian?” teriak Vani. “Eh, yang cantik sudah
bangun. Jangan banyak cakap lah Dek. Kalian akan senang nantinya”, “Turunkan
kami disini! Ini penculikan!” kata SIti.
“Berisik kali kalian ini!” kata seorang pria dan langsung membungkam mulut
kedua gadis itu dengan obat bius.
Ketika sadar, mereka sudah berada di atas kapal
feri yang cukup besar. Mereka tidak hanya berdua, tapi ada belasan gadis
disana. Mereka semua ada di bagian bawah kapal. Kepulauan Pagai bukan hanya
memiliki kekayaan alam yang berlimpah, tetapi juga gadis-gadisnya yang cantik
dan menarik.
“Apa ini? Kalian siapa? Kemana kapal ini pergi?”
kata Vani panik.
“Kami juga korban seperti kalian. Ternyata berita
ini benar, berita yang sudah ramai diperbincangkan sejak dua minggu yang lalu,
penculikan dan perdagangan gadis ke luar negri” jawab seorang gadis,
“Apa?! Perdagangan gadis?! Tidak mungkin. Apa yang
harus kita lakukan?” kata Siti.
“Kita harus
pergi dari sini!” kata Vani.
“Tidak mungkin. Kita berada di atas lautan, kita
tidak mungkin kabur” jawab salah seorang gadis.
“Kita bisa berenang” kata Vani.
“Saya tidak bisa berenang. Lagipula bagaimana cara
kita keluar?” kata Siti.
“Di kapal feri seperti ini pasti ada pelampung
keselamatan, tapi di atas sana. Apakah pintu ke atas dikunci?” kata Vani.
“Tidak” jawab seorang gadis yang duduk dekat pintu.
“Bagus. Kalau begitu aku akan naik untuk melihat
situasi dan pelampung. Apakah disini ada yang ahli bela diri?” kata Vani. Tidak
ada satupun yang menjawab selama beberapa detik.
“Saya. Hey ayolah kawan. Kita sedang dalam bahaya,
ini perjuangan untuk bertahan hidup. Apakah kalian mau dijual ke luar negri?
Meskipun saya tidak pernah ikut latihan bela diri, tapi dalam situasi darurat
seperti ini kita harus kuat!” kata Siti. Perkataan tersebut ternyata mampu
membangunkan semangat para gadis di kapal tersebut. Perlahan-lahan Vani membuka
pintu. Ia mengintip keluar.
“Hanya tiga orang. Kita semua harus keluar dan
menghadapinya. Dengan begitu kita tidak usah berenang untuk mencapai daratan”
kata Vani.
Akhirnya mereka semua keluar dan mengeluarkan
segenap tenaganya untuk melawan para pria itu. Salah seorang dari pria itu
mengeluarkan senjata dan menarik pelatuknya. Namun ia terlambat karena seorang
gadis buru-buru menendang perut pria tersebut. Pelurunya keluar namun tidak
mengenai seorangpun, melainkan menembus bagian bawah kapal. Bukan hanya satu,
tapi empat peluru bertubi-tubi. Hal tersebut membuat kapal berlubang dan air
masuk ke dasar kapal. Para pria tersebut sempoyongan dan akhirnya terbaring di
atas kapal. Mereka tidak sanggup menahan serangan dari belasan gadis tersebut.
“Teman-teman, daratan sudah dekat, hanya sekitar
lima puluh meter dari sini. Tapi kapal ini tidak akan bertahan lama. Kita harus
berenang. Gunakan pelampung. Jumlahnya terbatas, setidaknya gunakan satu
pelampung untuk dua orang” kata Vani.
“Pelampung hanya ada enam, dan kita berjumlah tiga
belas” kata Siti.
“Jangan khawatir. Aku bisa berenang. Sekarang,
lemparkan pelampungnya ke laut, dan lompatlah, kemudian ikuti intruksiku,
jangan takut” kata Vani. Vani yang merupakan atlet renang akhirnya harus
menghadapi medan yang sesungguhnya. Mereka semua melompat ke laut. Dengan
mengikuti intruksi dari Vani, mereka akhirnya sampai di daratan dan terbaring
kelelahan.
Di pagi hari, warga setempat menemukan mereka semua
dan langsung melaporkannya ke kantor polisi. Vani kemudian menelepon
orangtuanya di Tangerang. Mengetahui berita tersebut, kedua orangtuanya
langsung menjemput, mereka mengantarkan Siti ke Muara Biru dan mengambil
barang-barang Vani yang tertinggal disana, tak lupa mengucapkan banyak terima kasih
kepada keluarga Siti, kemudian pulang ke Tangerang.
“Sayang, jangan diulangi lagi yang seperti ini.
Kalau kamu tidak tertolong, mungkin kamu sudah menjadi TKW di luar negri
sekarang” kata Papa. “Iya, untung kamu bisa berenang Van, kamu sih ada-ada aja
pake kabur segala. Kita semua khawatir disini” kata Meriana. “Iya, seminggu
nyariin anak dewasa kayak kamu bukan hal mudah loh” kata Affan. “Iya-iya,
maafin aku, aku menyesal bikin kalian semua khawatir, aku janji tidak akan
mengulanginya lagi”. Kata Vani penuh penyesalan.
Sekarang, Vani lebih menikmati hidupnya. Ia
bersyukur memiliki Mama, Papa, Alfa, Gamma, Affan, Meriana, dan empat
sahabatnya yang lain, yang sangat ia sayangi dan juga menyayanginya. Vani juga
sering mengirim surat untuk Siti dan keluarganya karena tidak ada satu providerpun yang memasang tower di dekat rumah Siti.